Powered By Blogger

Selasa, 29 Mei 2012

Bedah Buku Biografi "Himawan Soetanto Menjadi TNI"

Biografi yang mengisahkan seorang prajurit TNI, ditulis oleh Daud Sinyal dan Atmaji Sumarkijo, diterbitkan "Kata Hasta Pustaka," 2009, dimana yang bersangkutan menuturkan pengalamannya mengikuti berbagai operasi militer yang sesungguhnya, dan ingin memberikan alih pengalaman berharganya kepada generasi muda TNI yang belum atau tidak mengalami operasi militer berskala besar. Buku setebal 385 halaman ini bersampul warna hijau, bergambar foto Letkol Himawan Soetanto sendiri yang mengenakan Baret Hijau Kujang I.
Ia lahir di Magetan tanggal 14 September 1929, sejak remaja sudah memperlihatkan keperibadian kuat apalagi setelah masuk Pandu KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia), Himawan Soetanto (HS) tidak suka dihina, diperlakukan diskriminatif si penjajah, ia sering bertengkar atau berkelahi dengan orang Belanda, iapun bercita-cita menjadi tentara.
Didalam perjalanan hidupnya Ia selalu ingat petuah ayahnya Mohamad Mangoendiprodjo, yaitu "Wajida Wajidahu" artinya "apapun yang kau kerjakan kerjakanlah dengan baik." Ayahnya ketika jaman Jepang adalah Daidancho Sidoarjo, ketika pecah revolusi ayahnya menjabat Kepala Komandemen Jawa Timur, Kepala Staf Kementerian Pertahanan dan pernah menjadi Penasehat Panglima Besar Sudirman.
Uniknya suatu saat, anak dan ayah pernah sama-sama bertugas ditempat yang sama, yaitu ketika HS menjadi Perwira Operasi Resimen Infanteri 6/Sriwijaya berkedudukan di Lampung pada tahun 1955-1957, ayahnya menjabat Residen Lampung. Pada tahun 1983 HS, dengan iparnya Susilo Sudarman (kala itu keduanya telah berpangkat Letnan Jenderal) dan ayahnya malah pernah sama-sama menjadi anggota MPR-RI.
Tanggal 26 Juli 1956 saat berpangkat Lettu, HS menikah dengan Nonon Ratnapuri di Tasikmalaya, yang dikenalnya ketika bertugas di Priangan Timur. Resepsi pernikahannya berlangsung di Lampung, banyak tamu penting hadir karena ia anak Residen, Presiden Soekarno mengutus Sekretaris Militernya Mayjen Soehardjo, Bung Karno dan ayahnya rupanya teman lama.
HS dikarunia empat orang anak, yaitu Purwanto Indrawan, Dwi Prihanti Indriani, Tri Susanti Indrayani dan Cahyono Indrakusuma.
Menceritakan pengalamannya sebagai perajurit TNI tanpa menyombongkan diri sebagai orang serba tahu dan hebat. Ia malah bercerita tentang kehebatan orang lain seperti Kolonel Nasution, Kepala Staf Operasi Angkatan Perang, perumus konsep "Perang Rakyat Semesta" Ia bercerita tentang Mayor Nasuhi Komandan Batalyonnya, ia juga bercerita tentang Kolonel Solihin GP mantan Komandan Inbatt Garuda II, yang pernah menjadi Komandan Kompinya dan juga Komandan Batalyonnya. Serta nama-nama lainnya yang ia ceritakan, termasuk cerita prestasi Letda Ruchiat, saat menjadi Danton/Yon 320/Tirtayasa/Siliwangi saat operasi "Masohi" berhasil menangkap Dr. Soumokil tanggal 4 Desember 1963.
Sebenarnya HS bisa saja menulis sendiri pengalaman hidupnya tetapi tidak ia lakukan, karena merasa lebih obyektif bila orang lain yang melakukannya, ia lebih suka bila biografi ini menonjolkan profesionalisme perajurit TNI dari berbagai kesatuan yang ia ceritakan ketimbang kehebatan pribadinya.
Ia juga mengagumi dan mengidolakan dua Panglima Siliwangi yang dianggapnya sebagai Panglima yang menonjol dan memiliki kepemimpinan khas, yaitu Kolonel AE Kawilarang yang dianggapnya pemimpin jagoan dan Brigjen Ibrahim Aji yang sering memberikan wejangan kepada perajuritnya, bahwa "kemanapun Siliwangi ditugaskan, Siliwangi tidak mencari kemenangan tetapi selalu pulang membawa kemenangan." (Esa hilang dua terbilang, pantang pulang kalau tidak membawa hasil, pen)
Prestasi HS yang menonjol diantaranya saat menjadi Danyon 330/Kujang I Siliwangi memimpin operasi "balas" dan operasi "gempur," dimana tanggal 10 April 1964 berhasil merebut kembali Polewali, pusat dari pasukan pembangkang pimpinan Letkol Andi Selle. Gelombang operasi gempur dimulai dini hari 6 April 1964, dari Pinrang tepat dimana sehari sebelumnya secara licik berusaha membunuh Kolonel M. Yusuf Pangdam XIV/Hasanudin.
Sebelum bertempur para perajurit Kujang Siliwangi meneriakan yel "Beta Ku beta," yang dijawab juga dengan "Beta Ku Beta" dengan suara gemuruh, yang juga menjadi aba-aba HS sebagai Danyon sebelum memberangkatkan para perajurit Kujang Siliwangi kemedan pertempuran. Yel ini diambil dari bahasa Linggala-Konggo yang berarti "Mari Kita Berkelahi," yang diadopsi oleh Yon 330/Kujang I ketika bertugas sebagai Pasukan Perdamaian PBB di Konggo-Kontingen Garuda II, 1962.
Bagi HS pribadi, perebutan kembali Polewali merupakan momen sangat berkesan, karena dapat menyumbangkan kemenangan gemilang bagi Siliwangi. Ia memerintahkan anak buahnya memakai kembali Baret Hijau kebanggaan mereka, karena batalyon telah kembali pada posturnya sebagai batalyon elit Siliwangi.
Sebelumnya Yon 330/Kujang I dianggap kalah bersaing dengan batalyon andalan Siliwangi lainnya, Yon 328/Kujang I dalam operasi Bratayudha," yang juga menyertakan rakyat dalam pengepungan yang dikenal sebagai sistem "Pager Betis," operasi militer ini terakhir di Jawa Barat terhadap gerombolan Kartosuwiryo.
Didalam jajaran Kodam VI Siliwangi saat itu, hanya ada dua batalyon yang berhak memakai nama Kujang, yakni batalyon 330 dan 328. Karena 330 lebih dahulu lahir dan lebih dahulu menyumbangkan kemenangan-kemenangan maka batalyon ini diberi nama Kujang I memakai Baret Hijau, batalyon 328 diberi nama Kujang II memakai Baret Cokelat, keduanya berkualifikasi Raiders yang kemudian ditingkatkan menjadi Raiders Para.
Kujang adalah sejenis senjata tradisional rakyat Jawa Barat yang dianggap punya kekuatan magis, dimana menurut kepercayaan masyarakat Sunda, Kujang Sakti milik Perabu Siliwangi aslinya memang hanya dua.
Prestasi puncak Yon 330/Kujang I saat mengikuti operasi kilat yang digelar Kodam XIV/Hasanudin ialah ditembak matinya Kahar Muzakar tanggal 3 Februari 1965, dalam sebuah penyergapan yang dilakukan oleh Ton I Ki D/330 pimpinan Letda Umar (ditembak oleh Kopral Ili Sadeli, pen), ditepi sungai Lasalo dekat desa Laiju Sulawesi Tenggara. Sebelumnya tanggal 12 September 1964 Andi Selle tewas, ia dan mobilnya masuk jurang saat dikejar Ki E/330.
Keberhasilan Yon 330/Kujang I mengakhiri kedua pemberontakan di Sulsera itu dipimpin oleh Mayor Yogie SM, karena HS yang telah berpangkat Letkol, tanggal 2 Mei 1964 ditarik kembali ke Kodam VI Siliwangi, menjadi Kepala Staf Brigif 15/Tirtayasa (sekarang menjadi Brigif 15/Kujang II Kodam III/Siliwangi, pen).
HS masuk Divisi Siliwangi bermula saat ikut menumpas PKI/Moeso bulan September 1948, bergabung dengan Kompi Tentara Pelajar pimpinan Solihin GP, membantu gerakan batalyon Nasuhi, saat itu HS masih Taruna Militer Akademi (MA) Jogya. Sebelumnya sempat mengikuti penugasan ke front Subang atau Bandung Utara dari bulan Juli sampai oktober 1946.
Ketika Jogya diserang Belanda tanggal 19 Desember 1948, menandai mulainya Perang kemerdekaan II, HS sudah lulus MA dengan pangkat Letda seharusnya bertugas di batalyon arteleri di kediri Jawa Timur, tetapi tidak jadi karena ketika akan naik kereta api jurusan Kediri batal berangkat, sebab kota Jogya sudah diduduki Belanda. Sehingga HS harus mengubah tujuan, yang semula akan kearah timur menjadi kearah barat yang lebih aman, dan mencari kesatuan terdekat untuk bergabung sementara.
Akhirnya ia berjalan menjauhi kota Jogya kearah barat dan bertemu dengan Letkol Bratamenggala, Wakil Kepala Staf Teritorial Markas Besar Komando Djawa (MBKD)di Godean, jadilah ia bergabung dengan Staf MBKD yang membawanya ke Jawa Barat, tempat dimana ia nantinya menghabiskan hampir setengah dari perjalanan karirnya sebagai perajurit TNI.
Saat itu Letkol Bratamenggala ditugaskan Kolonel Nasution Panglima Teritorium Djawa (PTTD) agar segera bergerak ke Jawa Barat untuk membangun jaringan Pos Komando X, itu berarti HS ikut Long March menyusul Pasukan Siliwangi yang sudah berangkat sebulan sebelumnya, kemudian sesampainya di Jawa Barat ia bergabung dalam Batalyon Nasuhi sebagai Danton 3 Ki Solihin, bergerilya di daerah Priangan Timur menghadapi dua musuh sekaligus yaitu belanda dan DI/TII.
HS adalah seorang pejuang dan perajurit yang sarat pengalaman diberbagai palagan, dan menjadi TNI sejak palagan Surabaya (pertempuran 10 November 1945, pen), menjadi anggota Pasukan Pelajar Sawunggaling, sebagai Taruna MA beroperasi menghadapi Belanda di front Subang atau Bandung Utara(1946)dan ikut memerangi pemberontakan PKI/Moeso (1948), ikut long march Siliwangi dari Jogya ke Jawa Barat (1949), menghadapi Belanda dan DI/TII (19490). Selesai perang kemerdekaan, menghadapi DI/TII (1951, 1952, 1953, 1961, 1962), mengikuti pelatihan dan pendidikan didalam negeri (1946-1948, 1954, 1956, 1966), dan diluar negeri (1959), mengikuti Operasi 17 Agustus (1958), Operasi menghadapi pembangkangan Andi Selle dan Kahar Muzakar (1964), Dwikora (1965), Misi Perdamaian PBB (1960-1961, 1974).
Berkarir di TNI mulai dari bawah dengan pangkat Letnan Muda (1946), Letda (1948) sampai menjadi Letjen (1978). Menjabat di kesatuannya mulai dari tingkatan Danton (1949-1951), Danki (1951-1955), Danyon (1961-1964), DanBrigif (1966-1968), sampai menjadi Panglima beneran, karena HS lima kali menjabat Panglima, yaitu Pangdam Sriwijaya (1971-1973), Pangkostrad (1974-1975), Pangdam VI/Siliwangi (1975-1978), Pangkostranas (1978-1981), dan Pangkowilhan III/Sulawesi-Kalimantan (1981-1983).
Penugasan lainnya sebagai perajurit TNI, HS pernah menjadi Perwira Operasi Resimen Infanteri 6/Sriwijaya, Danki Taruna Akmil, Perwiran ALO/Air Liason Officer (Operasi 17 Agustus), Guru Militer Akmil, Perwira Operasi UNOC-PBB di Konggo, KasBrigif, Adisten Operasi Kodam VI/Siliwangi, Wagub Akabri, Komandan Brigade UNEF 2-PBB di Mesir, Kasops Dephankam dan Kasum ABRI.
Pengalaman panjang dalam berbagai penugasan, jabatan dan jenjang kepangkatannya, membuat HS merasakan tradisi dan doktrin TNI membentuk keperibadiannya. Ia tidak pernah menyia-nyiakan ke-TNI-annya itu, ia bangga menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara, sampai bisa memangku jabatan di Komando Utama, Markas Besar TNI serta jabatan kenegaraan seperti menjadi Duta Besar (Malaysia). Namun perjalanan pengabdiannya kepada bangsa dan negara secara resmi berakhir pula di Kepanduan, ia menjadi Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (1988-1998), mengingat dimasa remajanya HS mengawali kegiatan berorganisasinya sebagai seorang anggota Pandu KBI.
HS merupakan perajurit yang tidak berpolitik, karena ia berpandangan "Tentara harus berdiri diatas dukungan rakyat dan tidak ikut bermain dengan kekuasaan." Hal itu diperlihatkannya saat menjadi Pangdam VI/Siliwangi, HS memegang teguh tradisi luhur Siliwangi yang juga tradisi TNI sebagai "Tentara Rakyat." Ia menempuh "Strategi of indirect approach" dalam menghadapi gejolak sosial di Jawa Barat, menolak penyerbuan militer terhadap kampus ITB, 1978. Saat itu ia merasa terjepit antara tradisi dan nilai TNI dengan perintah petinggi militer di Jakarta, HS merasa sebagai perajurit tetap loyal tetapi ia melakukannya dengan cara Jawa Barat saat menangani gerakan mahasiswa, yaitu "meunang laukna herang caina" (dapat mengambil ikannya tanpa membuat keruh airnya, pen), artinya memecahkan masalah tanpa membuat gejolak.
Diluar pelatihan dan pendidikan militer yang diikutinya, HS tak pernah berhenti belajar sendiri menambah pengetahuannya, dengan rajin membaca buku maupun majalah ilmu dan kepemimpinan militer, seperti buku-buku "Basic Tactics," Mao Zedong; "Peoples War," Jenderal Vo Nguyen Giap; "The Art Of War," Sun Tzu; Militery Leadership," Liddel Hart(ahli strategi klasik "Strategy Of indirect Approach"), juga membaca tulisan rekannya Kapten Sayidiman "Taktik dan Teknik Infanteri." Ia juga berlangganan dan membaca majalah "Militaire Spectator," terbitan Belanda.
Gaya kepemimpinan HS memperlihatkan kehangatan dan komunikatif, ia berhasil memadukan anak buahnya yang TNI dan mantan KNIL, sehingga menjadikan kesatuannya kompak saat menjadi Danki 4 Yonif 204 (1951-1955). Juga ia perlihatkan saat menjadi Danyon 330/Kujang I, hubungannya sangat akrab dan hangat dengan seluruh anggota Batalyon, seperti tercermin nama panggilan dalam hubungan radio kepadanya ialah "Guru," HS memberikan perintah di medan pertempuran dalam "Bahasa Sunda," anak buahnya juga kalau melapor dalam bahasa sama, maksudnya agar tidak dimengerti pihak musuh di medan pertempuran.
Tetapi terkadang perintahnya suka membuat kaget anak buahnya, seperti ketika ia memerintahkan anak buahnya mencopot Baret Hijau kebanggaan perajurit Kujang I dan tidak berseragam loreng saat tiba di Sulawesi Selatan, alasannya "untuk menghindarkan salah terima rakyat setempat yang mungkin masih trauma akibat tragedi pembantaian Westerling terhadap gerilyawan dan rakyat Sulawesi Selatan di tahun 1946-1947." Karena pasukan Westerling waktu itu berbaret hijau dan berseragam loreng.
Namun selanjutnya HS berpesan, bila nanti operasi yang dilakukan "sudah tampak hasilnya dan masyarakat menilai bahwa pasukan Kujang adalah pembela rakyat, berjuang bersama rakyat yang benar, Baret Hijau kebanggaan Kujang boleh dikenakan kembali."
Ia menerapkan doktrin TNI, dimana "TNI harus bisa merebut hati, TNI dan rakyat ibarat ikan dalam air, air itu harus dialirkan ke kita agar kita hidup didalamnya," doktrin ikan dan air pada hakekatnya adalah doktrin teritorial. Sejak 1958, "Doktrin Perang Wilayah" diberlakukan dalam operasi-operasi Siliwangi dan menjadikan operasi teritorial sama nilainya seperti operasi kombat maupun intelijen. Pembinaan teritorl menjadi salah satu bagian dari cara berperang. Dalam "Doktrin Perang Wilayah, bila operasi teritorial berjalan baik maka efektifitasnya sama dengan operasi tempur dan intelijen."
Buku ini isinya sarat dengan kisah panjang perjuangan para perajurit TNI menegakan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti kisah Perang Kemerdekaan, berbagai Operasi Militer yang digelar TNI, Doktrin Perang Wilayah (tempur-Intelijen-teritorial), Taktik dan Strategi Militer, Keperibadian dan Kepemimpinan Militer, Kehandalan Pasukan TNI pada umumnya dan khususnya Pasukan Siliwangi. Jadi buku ini bagus dan patut dibaca para peminat buku, terutama dari kalangan TNI untuk menarik pelajaran darinya.***** (Mohamad Achwani)